Monday - Saturday, 8AM to 10PM
Call us now 085659630177

Dikotomi Kendali dalam Filsafat Stoa dan Kesinambungannya dengan Ajaran Agama Islam

artikel oleh: topik_rohim12

 

Filsafat Stoa adalah salah satu aliran filsafat yang berkembang di Yunani kuno. Salah satu konsep inti dalam filsafat Stoa adalah dichotomy of control atau dikotomi kendali. Konsep ini mengajarkan bahwa ada dua hal dalam hidup: hal-hal yang berada di luar kendali kita dan hal-hal yang berada di bawah kendali kita. Pemahaman mendasar ini dapat membawa ketenangan batin karena seseorang akan berfokus pada apa yang bisa dikendalikan dan menerima dengan lapang dada apa yang tidak bisa diubah.

Konsep ini memiliki kesinambungan yang kuat dengan ajaran agama, khususnya Islam, yang juga menekankan pentingnya tawakal (berserah diri kepada Allah) dan usaha (ikhtiar), sebagai bentuk pengendalian diri dalam menghadapi kehidupan.

Dikotomi Kendali dalam Filsafat Stoa

Dalam Stoisisme, dikotomi kendali dipelajari dengan sangat serius. Stoik percaya bahwa kebahagiaan atau ketenangan jiwa hanya bisa dicapai jika seseorang menyadari batasan-batasan hidupnya. Hal-hal yang bisa kita kendalikan mencakup pikiran, niat, reaksi, dan tindakan kita. Sementara itu, hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan mencakup cuaca, opini orang lain, kondisi tubuh, kematian, atau hasil dari usaha kita.

Epictetus, seorang filsuf Stoik terkemuka, menyatakan dalam Enchiridion: "Beberapa hal berada dalam kendali kita, sementara yang lain tidak." Prinsip ini mengajarkan bahwa kita harus berfokus pada tindakan yang baik, terhormat, dan bijaksana—serta tidak membiarkan hal-hal di luar kendali kita mempengaruhi kebahagiaan atau kedamaian batin kita. Dengan menerima apa yang tidak dapat diubah, seorang Stoik berusaha untuk tetap tenang dalam situasi apa pun.

Kesinambungannya dengan Ajaran Islam

Konsep dikotomi kendali ini sebenarnya tidak asing dalam ajaran Islam. Dalam Islam, manusia diajarkan untuk mengerahkan usaha sebaik mungkin dalam menjalani hidup (ikhtiar), namun tetap menyerahkan hasilnya kepada Allah (tawakal). Islam menekankan bahwa manusia hanya dapat berusaha, tetapi hasil dari segala sesuatu berada di tangan Allah. Hal ini sejalan dengan prinsip Stoik bahwa kita tidak memiliki kendali penuh atas hasil dari setiap tindakan kita.

  1. Ikhtiar dan Kendali
    Dalam Islam, konsep ikhtiar mengajarkan bahwa manusia wajib berusaha dalam segala hal, seperti mencari rezeki, memperbaiki diri, atau menjaga hubungan dengan orang lain. Ikhtiar ini berada di bawah kendali manusia. Allah dalam Al-Qur'an menegaskan pentingnya usaha: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (QS Ar-Ra’d: 11). Ini menunjukkan bahwa manusia diberi kendali untuk melakukan perubahan dalam hidupnya.

  2. Tawakal dan Penerimaan
    Di sisi lain, konsep tawakal dalam Islam mengajarkan bahwa setelah berusaha, seseorang harus menyerahkan hasilnya kepada Allah. Manusia tidak bisa mengendalikan takdir atau hasil dari usahanya secara penuh, dan oleh karena itu, penting untuk memiliki keimanan bahwa apa pun yang terjadi adalah ketetapan Allah yang terbaik. Allah berfirman: “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkannya” (QS At-Talaq: 3). Ini mirip dengan ajaran Stoik untuk menerima apa yang di luar kendali kita tanpa terpengaruh secara emosional.

  3. Sabar dan Ketenangan Batin
    Kesabaran (sabr) adalah bagian penting dari ajaran Islam dan merupakan bentuk dari penerimaan atas apa yang tidak bisa diubah. Dalam Stoisisme, hal ini juga dikenal sebagai apatheia—ketenangan batin yang dicapai melalui pemahaman bahwa tidak semua hal berada di bawah kendali kita. Seorang Muslim yang sabar memahami bahwa setiap ujian yang datang dari Allah adalah bagian dari takdir-Nya dan harus diterima dengan tenang dan penuh keimanan. Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Semua perkara baginya baik, jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya." (HR. Muslim).

  4. Qadar dan Takdir
    Konsep qadar (takdir) dalam Islam juga sangat erat kaitannya dengan dikotomi kendali. Manusia diingatkan bahwa ada hal-hal yang memang sudah ditetapkan Allah sejak awal dan tidak dapat diubah, misalnya waktu kematian, rezeki, dan jodoh. Namun, dalam Islam, manusia tetap diberi ruang untuk berusaha di dalam batasan takdir tersebut. Sama seperti Stoik yang menerima bahwa banyak hal di luar kendali mereka, seorang Muslim diajarkan untuk menerima bahwa takdir adalah bagian dari kehendak Allah yang tidak bisa diubah.

Kesimpulan

Dikotomi kendali dalam filsafat Stoa dan ajaran Islam sebenarnya memiliki kesamaan yang kuat. Kedua sistem ajaran ini menekankan pentingnya fokus pada apa yang bisa dikendalikan, seperti usaha dan tindakan, serta menyerahkan apa yang tidak bisa dikendalikan kepada kekuatan yang lebih besar—dalam Stoisisme, ini berarti hukum alam atau nasib, sementara dalam Islam, ini berarti kehendak Allah.

Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini, seseorang dapat mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan yang lebih stabil. Baik Stoik maupun Muslim sama-sama berusaha menjaga keseimbangan antara tindakan aktif dan penerimaan pasif terhadap realitas hidup yang tidak selalu sesuai dengan harapan manusia. Ini membentuk sikap hidup yang lebih bijak, penuh ketenangan, dan berorientasi pada usaha yang baik serta penerimaan takdir dengan lapang dada.

ikuti juga media sosial pesantren katulistiwa yang lain

https://lynk.id/pesantren.katulistiwa

Komentari Tulisan Ini
Pimpinan Pesantren Katulistiwa
Muhamad Ali. S.H.I., M.H.I.

  السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ فَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى…